Kadang, pelajaran paling berharga datang di saat tak terduga — di antara secangkir kopi 🍵, embun pagi 💧, dan dua sosok manusia yang mengajarkan makna sejati dari pandangan Allah.
Pagi itu, sekitar tahun 2007, mentari bersinar lembut menembus dedaunan yang masih basah oleh embun. Kicau burung bersahutan, terbawa semilir angin yang menyejukkan suasana. Usai menunaikan salat dhuha di masjid sekolah yayasan tempatku mengajar — sekitar tiga belas kilometer dari pusat Kota Probolinggo — aku melangkah keluar, menikmati pagi yang terasa begitu tenang dan bersahaja.
Seperti biasa, aku menuju kantin di halaman depan masjid. Segelas kopi panas dan sebatang rokok menjadi teman singkatku mengisi waktu istirahat pertama. Sambil berbincang dengan seorang sahabat, mataku tertumbuk pada keramaian di sekitar — anak-anak PAUD dan SD yang riang, siswa-siswi SMP dan SMA yang berlarian kecil, para orang tua yang datang menjemput, dan beberapa guru yang sedang berbincang santai.
Di antara kerumunan itu, aku melihat seorang perempuan muda berdiri sambil menatap sekitar. Sesekali ia memeriksa ponselnya. Rambutnya dicat pirang sebagian, berkilau di bawah sinar matahari. Busananya cukup mencolok, menampilkan citra percaya diri sekaligus kegelisahan yang sulit dijelaskan. Setelah beberapa saat, ia beranjak pergi.
Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan lain. Ia berjilbab, menenteng beberapa buku di dada — mungkin seorang pengajar TPQ di masjid itu. Yang membuatku tertegun, ia memiliki keterbatasan fisik: kakinya sangat pendek, membuat tubuhnya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Namun, wajahnya memancarkan kedamaian. Tatapannya lembut, langkahnya mantap. Dari raut wajahnya terpancar ketulusan dan keikhlasan menerima takdir Allah.
Aku tak bisa melupakannya.
Pagi itu seolah Allah mengajarkanku sesuatu melalui dua sosok berbeda. Yang satu memiliki kesempurnaan fisik, namun tampak gelisah. Yang satu memiliki keterbatasan fisik, namun tampak damai. Seolah Allah ingin menegaskan: kebahagiaan sejati tidak terletak pada rupa, bentuk tubuh, atau apa yang tampak di mata manusia — melainkan pada ketenangan hati yang berpaut pada pandangan Allah.
Sering kali, manusia menilai berdasarkan apa yang terlihat. Padahal, keindahan yang tampak belum tentu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Allah bisa saja memberi kekurangan atau keterbatasan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk kasih sayang — agar kita terjaga dari dosa dan lebih dekat pada-Nya.
Berapa banyak orang tergelincir oleh pandangan mata terhadap dunia? Berapa banyak langkah menuju dosa dimulai dari kekaguman pada hal-hal lahiriah? Dan sebaliknya, betapa banyak orang yang tampak “kurang” di mata manusia justru jauh lebih sempurna di mata Allah.
Mata manusia terbatas, sering tertipu oleh kilau dunia. Namun pandangan Allah menembus segalanya — Ia melihat hati, niat, dan keikhlasan di balik setiap langkah.
Maka, marilah kita belajar menilai bukan dengan mata manusia, melainkan dengan pandangan Allah. Karena yang tampak indah di dunia belum tentu baik di sisi-Nya, dan yang tampak kurang di mata manusia bisa jadi mulia di sisi Tuhan.
Setiap perjumpaan, sekecil apa pun, bisa menjadi cara halus Allah menegur atau mengajar kita — kadang lewat seseorang yang kita pandang sebelah mata, kadang lewat kejadian sederhana di pagi yang tenang. Sering kali, di antara secangkir kopi dan embun pagi, Allah menitipkan pelajaran hidup yang tak kita duga. Kita hanya perlu menenangkan hati, membuka mata batin, dan memandang dengan cara yang Allah ajarkan — sederhana, jernih, dan penuh makna. 🌿
Tulisan ini adalah versi perenungan ulang dari artikel berjudul “Utamakan Pandangan Allah”, yang terlahir pada masa ketika hati sedang belajar membedakan antara keindahan yang tampak dan ketenangan yang dirasakan. Kadang, Allah menghadirkan kegelisahan agar kita kembali menatap dengan pandangan-Nya, bukan dengan mata dunia. ☕✨
Prev: 06/06/2010 12:36:00 PM PV7
Updated: June 1st, 2012. 01:25 p.m.
Modified: Nov 10th, 2025
