Sebuah Percakapan Menuju Islam 4/5 (Donald W. Flood)

0
Musafir
Setelah terus-menerus mempelajari Al-Qur’an dan ucapan serta perbuatan Nabi Muhammad SAW (Sunnah beliau), aku menemukan bahwa agama Islam memandang umat manusia sebagai para musafir kehidupan, dan ‘rumah’ mereka yang sebenarnya adalah akhirat yang kekal. Kita semua berada di sini hanya untuk masa yang amat singkat, dan tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat kita bawa sebagai bekal selain iman kita kepada Tuhan dan amal perbuatan kita sendiri. Karena itulah, umat manusia tak ubahnya seperti para musafir yang sedang melewati sebuah negeri, namun tidak akan dapat menetap di sana. Sebagai orang-orang yang sedang melakukan perjalanan, kita selayaknya harus menyadari bahwa makna sesungguhnya dari kehidupan adalah ujian. Karena itulah, ada penderitaan, kegembiraan, suka dan duka. Ujian terhadap kebaikan dan keburukan ini semata-mata ditujukan untuk membangkitkan kualitas spiritual yang lebih tinggi. Bagaimanapun, kita tidak akan mampu mengambil manfaat dari ujian tersebut kecuali bila kita berupaya dengan segala kemampuan terbaik kita, serta sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan, dan dengan sabar menerima apa yang telah Dia tentukan bagi kita.

Titian Menuju Surga
Sangatlah bermakna bagi kita untuk mempelajari tentang surga karena surga tentu merupakan tujuan tertinggi bagi setiap umat manusia. Mengenai rumah yang kekal ini, Allah telah berfirman:
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah:17)
Aku juga menemukan bahwa merupakan suatu kenikmatan yang tak terbayangkan dan tiada tara untuk dapat bertemu secara langsung dengan Sang Maha Pencipta. Siapakah gerangan yang berhak memperoleh imbalan sedemikian agungnya? Imbalan berupa surga ini terlalu berharga untuk dibayar dengan harga apapun. Surga akan dapat diraih melalui iman yang sejati, yang dibuktikan melalui ketaatan terhadap Tuhan serta mengikuti Sunnah (tata-cara) Nabi Muhammad SAW.

Umat manusia wajib beribadah kepada Tuhan agar dapat mencapai kemuliaan serta tingkatan iman yang dibutuhkan untuk dapat memasuki surga-Nya. Hal ini berarti bahwa umat manusia harus memahami bahwa ibadah merupakan kebutuhan yang tak dapat diabaikan sebagaimana makan dan bernapas, bukan sebagai suatu bentuk jasa yang mereka lakukan bagi Tuhan. Di samping itu, kita harus membaca Al-Qur’an agar mengetahui seperti apakah manusia yang dikehendaki oleh Tuhan, dan kemudian harus berusaha untuk mewujudkannya. Itulah jalan menuju surga.
Menghadapi Rintangan
Pada titik ini, aku merasa 80% yakin bahwa aku ingin memeluk Islam, namun masih ada suatu hal yang mengurungkan niatku. Aku merasa khawatir dengan reaksi keluarga dan teman-temanku jika mereka mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam. Aku segera mengungkapkan kekhawatiran tersebut kepada seorang Muslim, yang kemudian menjelaskan kepadaku bahwa pada hari pembalasan, tidak akan ada seorangpun yang dapat menolong kita, bahkan ayah dan ibu, serta teman-teman kita sekalipun. Karena itu, jika kita telah meyakini kebenaran Islam, bahwa Islam adalah agama yang benar, kita harus segera memeluknya dan hidup di jalan yang diridhai Allah yang telah menciptakan kita. Kini, sudah sangat jelas bagiku bahwa kita semua sama; setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan kemudian kita akan mempertanggung-jawabkan iman kita kepada Tuhan serta segala amal-perbuatan kita masing-masing.

Sebuah Film Yang Penuh Hikmah
Ketika pencarianku terhadap kebenaran telah mencapai tahap ini, aku telah berada di ambang pintu untuk memeluk Islam. Suatu saat, aku melihat sebuah film pendidikan Islam yang berbicara tentang tujuan hidup. Tema pokok film tersebut adalah bahwa tujuan hidup manusia dapat di rangkum dalam satu kata, yakni ISLAM (yang bermakna ‘kepatuhan yang tulus ikhlas terhadap kehendak Tuhan’).

Yang juga penting untuk diketahui adalah, bahwa istilah ‘Islam’ tidak memiliki sangkut-paut apapun dengan nama orang atau nama suatu tempat tertentu, tidak seperti agama-agama atau keyakinan lainnya. Dalam ayat Al-Qur’an berikut ini, Tuhan sendiri yang telah memberikan nama Islam:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.....” (Al-Imraan:19)
Semua pemeluk agama Islam akan disebut Muslim tanpa membedakan ras, jenis kelamin, maupun kebangsaan masing-masing. Inilah salah satu alasan mengapa Islam merupakan agama yang universal, agama semesta alam.

Sebelum mencari kebenaran, aku tidak sekalipun pernah secara serius memikirkan Islam sebagai suatu alternatif pilihan, disebabkan adanya pemberitaan negatif tentang umat Islam secara terus menerus di media-massa. Mengenai hal itu, film yang kutonton tersebut mengungkapkan bahwa sekalipun ajaran Islam memberi penekanan pada standar moral yang tinggi, tidak semua umat Islam dapat memenuhi standar moral yang diajarkan oleh Islam. Aku menyadari bahwa hal yang sama juga dapat terjadi pada agama-agama lain. Pada akhirnya, aku mencapai pemahaman bahwa kita tidak bisa menilai suatu agama hanya berdasarkan tindakan maupun perbuatan para pemeluknya saja, seperti yang pernah kulakukan sebelumnya, karena setiap manusia dapat berbuat salah. Dalam hal ini, kita tidak selayaknya menghakimi Islam semata-mata menurut perbuatan umat Islam, melainkan harus berdasarkan kitab wahyunya (Al-Qur’an suci) dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Hikmah lain yang kupetik dari film tersebut berkisar tentang pentingnya rasa syukur. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kita harus bersyukur atas penciptaan kita sebagai manusia:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl:78)
Allah juga berfirman bahwa rasa syukur tidak dapat dipisahkan dari iman, dan telah menjelaskan pula bahwa Dia tidak mungkin akan menghukum hamba-hambaNya apabila mereka bersyukur dan beriman kepadaNya. Dalam Al-Qur’an, Dia berfirman:
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?....” (An-Nisaa:147)
Kebenaran Yang Terungkap Dengan Sendirinya
Ketika film tersebut berakhir, aku merasakan bahwa kebenaran yang aku cari selama ini telah kutemukan, terungkap dari tabirnya di dalam jiwaku. Aku merasakan beban dosa yang amat besar terbang lepas dari punggungku. Tidak hanya itu, jiwaku seolah melayang dan membubung tinggi, melepaskan diri dari dunia, tidak lagi terbelenggu oleh kesenangan dunia yang semu dan fana ini, demi sebuah kebahagiaan abadi di hari kemudian. Pengalaman ini, disertai dengan proses pemikiran yang amat panjang, telah menjawab dan memecahkan “teka-teki tujuan hidup”. Kebenaran Islam telah terungkap, dan mengisi hamparan jiwaku dengan iman, tujuan, arah, dan amal perbuatan. Maka dari itu, akupun melangkah memasuki gerbang Islam dengan mengucapkan pernyataan iman sebagai syarat untuk menjadi Muslim:

"Ashhadu an La ilaha Illa Allah wa ashhadu anna Muhammadan Rasulullah."
(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah)


Aku mendapat penjelasan bahwa pernyataan resmi tersebut juga menegaskan keyakinan seseorang terhadap semua nabi dan utusan Tuhan, termasuk semua kitab-kitab Allah selama masih berada dalam bentuknya yang asli. Karena itulah, syahadat akan memperbarui dan menyempurnakan keyakinan seseorang hingga nabi terakhir (Nabi Muhammad SAW) dan wahyu Tuhan terakhir (Al-Qur’an). Ungkapan penting berikut ini telah menjadi sangat jelas bagiku: Seandainya Yesus (Isa a.s.) adalah utusan Tuhan yang terakhir, dan Injil merupakan kitab wahyu yang terakhir, aku juga akan mendukungnya. Maka dari itu, masuk akal bila aku memilih untuk mengikuti wahyu terakhir dari Sang Pencipta sebagaimana yang diteladankan oleh penutup para nabi, Nabi Muhammad SAW.

Continued to Part 5

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)