Suatu ketika di tahun 2005, Bpk. Choirul Anam, seorang sahabat yang bekerja di PT. Kertas Leces, memberikan sebuah cetakan komputer berbahasa Inggris berisi kisah-kisah Muallaf dari negara-negara Barat, yang didapatnya dari Internet. Merasakan adanya hikmah dari membaca naskah itu, saya memiliki keinginan yang kuat untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, agar bisa berbagi cerita dengan teman-teman semua. Meskipun selesai pada pertengahan tahun 2006, hasil terjemahan itu baru sekarang saya unggah ke internet. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Menggabungkan Kepingan Awal “Teka-teki Tujuan Hidup”
Dulu, aku berpikir bahwa latar belakangku akan dapat membawa kehidupan yang sempurna, terlebih semenjak aku merasakan kepuasan mental maupun fisik. Sebagai seorang pemuda, kehidupanku tidaklah jauh berbeda dengan rata-rata orang Amerika yang bergaya hidup agak hedonistik. Aku menyukai musik, gadis pesta, olah raga, pelesir, makanan etnis, dan bahasa asing. Namun akhirnya aku mencapai suatu titik, di mana aku merasakan “kehampaan spiritual”. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Sekarang, apa lagi maumu?”. Aku mulai berpikir, “Hidup pasti bukanlah hanya untuk ini saja”. Kesadaran inilah yang akhirnya menjadi pemicu yang membawaku menuju sebuah pencarian kebenaran melalui berbagai macam jalan.
Pada awalnya, aku mengira bahwa penyebab ketidak-puasan spiritual yang kurasakan adalah gaya hidupku di Amerika, yang acapkali terbelenggu oleh kesenangan sesaat dan tingkah laku yang impulsif (menuruti kehendak nafsu). Sebagai hasilnya, aku berspekulasi bahwa jawaban dari semua ini akan kudapatkan dengan menemukan daerah lain yang lebih baik. Karena itulah, aku mulai mencari suatu tempat yang sempurna. Setelah menjelajahi banyak tujuan, aku menyadari bahwa semua daerah itu bukanlah tempat yang benar-benar aku rindukan, tidak lebih dari suatu budaya tertentu belaka dengan masing-masing pendekatannya yang paling sesuai dengan kehidupan di daerah itu. Ketika aku menemukan suatu budaya yang kuanggap paling menarik, saat itulah aku baru menyadari bahwa budaya tersebut masih memiliki cacat dan kelemahan. Semenjak itu, aku menduga bahwa kita harus mempelajari berbagai cara hidup manusia lalu memilih mana yang terbaik dari praktek-praktek itu. Inilah yang mungkin merupakan jalan kebenaran.
Setelah gagal untuk benar-benar menerapkan kehidupan seorang manusia global, aku mengambil pilihan untuk beralih ke buku-buku bacaan tentang metafisika, karena hal-hal yang esoterik (hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja) dalam kehidupan ini selalu membangkitkan minatku. Aku mempelajari bahwa segala hal ternyata berjalan menurut hukum universal yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan seseorang. Setelah melahap banyak buku metafisika, aku menyimpulkan bahwa hal yang lebih penting daripada hukum-hukum itu adalah Sang Pencipta hukum itu sendiri, yaitu Tuhan. Aku juga menyadari bahwa metafisika bisa jadi merupakan suatu jalan yang sulit dan terlalu berbahaya untuk diikuti, sehingga timbullah keputusan untuk tidak mempelajarinya lebih jauh lagi. Atas nasehat seorang teman dekat, aku dan beberapa orang lainnya kemudian mengadakan perjalanan camping selama tiga bulan ke seluruh Amerika dan Kanada Bagian Barat, dengan maksud untuk menemukan tujuan hidup. Saat itulah, kami menyaksikan keajaiban-keajaiban alam dan merasa yakin bahwa dunia ini tidak mungkin tercipta secara kebetulan begitu saja. Dunia ini benar-benar merupakan suatu negeri ajaib yang penuh dengan tanda-tanda yang membuktikan adanya Sang Pencipta. Dan begitulah, perjalanan tersebut semakin memperkuat keyakinanku terhadap Tuhan.
Setibanya di rumah, aku merasa sangat tertekan oleh kehidupan kota besar yang sangat sibuk, sehingga aku mulai beralih ke meditasi demi mencari ketenangan. Melalui teknik-teknik meditasi, aku dapat menemukan kedamaian batin. Sekalipun begitu, ketenangan dan kedamaian itu hanya bersifat sementara. Saat aku kembali berdiri, perasaan damai tersebut hilang lagi. Selain itu, melakukan meditasi secara konsisten ternyata merupakan suatu tugas yang amat berat. Karena itulah, ketertarikanku berangsur-angsur sirna.
Tidak lama kemudian, aku mulai menduga bahwa kebenaran yang sedang kucari mungkin terletak pada pengembangan diri. Karenanya, aku mulai menjadi seorang pembaca yang haus akan bahan-bahan bacaan tentang motivasi, dan mulai menghadiri seminar-seminar yang terkait dengan itu. Di samping itu, aku juga berusaha untuk menerapkan slogan Angkatan Darat Amerika Serikat di iklan-iklan TV, ‘Be all you can be”’ (Kerahkanlah segala kemampuan dirimu), dengan cara mengikuti latihan-latihan seperti berjalan di atas api, terjun payung, dan bela diri. Disebabkan oleh buku-buku yang kubaca dan kegiatan-kegiatan yang menantang itulah, rasa percaya-diriku semakin menguat, namun pada kenyataannya, aku masih belum juga menemukan kebenaran yang kurindukan.
Segera setelah itu, aku melanjutkan pencarian dengan membaca buku-buku tentang filsafat. Aku memang menemukan banyak konsep dan praktek yang menarik; namun tidak ada satupun filsafat yang dapat benar-benar kusetujui secara keseluruhan. Sehingga, aku lebih memilih untuk menggabungkan apa-apa yang kuanggap sebagai kebijakan terbaik di antara semua doktrin-doktrin itu. Hal itu kemudian menjadi semacam ‘agama campuran” yang memberi penekanan terhadap sikap moral yang baik. Akhirnya, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa moral yang baik memang perlu, namun masih belum cukup untuk dapat memecahkan “teka-teki tujuan hidup”, yang membutuhkan suatu pendekatan hidup yang cenderung bersifat spiritual.
Tidak lama kemudian, aku mendapat pekerjaan di sebuah negara Muslim, di mana aku mempunyai cukup banyak waktu luang untuk membaca dan merenungkan hidup. Pencarianku terhadap kebenaran masih terus berlanjut, hingga akhirnya aku menemukan suatu anjuran di sebuah buku tentang pentingnya pertobatan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Anjuran tersebut kulakukan dan aku benar-benar merasakan penyesalan yang mendalam atas berbagai kesalahan yang pernah kuperbuat terhadap orang lain dalam hidupku, begitu mendalam hingga air mata menetes di pipiku.
Beberapa hari kemudian, aku berbincang-bincang dengan beberapa orang teman Muslim. Aku mengatakan kepada mereka bahwa di Amerika dulu, aku biasa mengenyam kebebasan yang lebih luas daripada yang kutemui di negara mereka. Seorang dari mereka mengatakan, “Memang, tapi sebenarnya itu bergantung pada apa yang kamu maksud dengan kata ‘kebebasan’. Di duniamu, sebaik apapun orang-tua mengajarkan moralitas kepada anak-anaknya di rumah, saat berada di luar rumah, mereka umumnya akan menemukan suatu masyarakat yang jauh dengan moralitas yang diajarkan di rumah. Sebaliknya, pada kebanyakan masyarakat Muslim, moral yang diajarkan kepada anak-anak di rumah amat sepadan dengan apa yang mereka temukan di luar rumah. Jadi, siapakah yang benar-benar memiliki kebebasan dalam hal ini?” Dari perbandingan itulah, aku mengambil kesimpulan bahwa aturan dan larangan Islam yang membatasi perilaku manusia bukanlah bertujuan untuk membelenggu kebebasan manusia; melainkan, untuk menegaskan batas-batas kebebasan yang bermartabat bagi umat manusia.
Kesempatan berikutnya untuk mempelajari Islam muncul ketika aku diundang untuk makan malam bersama dengan sekelompok penganut Islam. Setelah memberitahu mereka bahwa aku pernah tinggal di Las Vegas, Nevada sebelum pindah ke Timur Tengah, seorang Muslim yang berasal dari Amerika berkata, “Kamu harus memastikan bahwa kelak kamu meninggal sebagai seorang Muslim yang baik.” Segera aku memintanya agar menjelaskan maksudnya. Dia meneruskan, “Jika kamu meninggal sebagai non-Muslim, kamu seolah-olah sedang bermain roulette dan mempertaruhkan semua kepinganmu (seluruh hidupmu, termasuk amal-amal sekaligus keyakinanmu sendiri terhadap Tuhan) hanya pada satu nomer saja, semata-mata berharap bahwa barangkali dengan rahmat dan ampunan Tuhan, kamu akan memasuki surga di hari pembalasan. Sebagai perbandingan, jika kamu meninggal sebagai seorang Muslim yang bertakwa, seolah-olah kamu menyebarkan semua kepinganmu di seluruh papan roulette, sehingga dengan cara ini seluruh nomer akan dapat tercakup. Di angka berapapun bola roulette jatuh, kamu akan tetap aman. Dengan kata lain, hidup dan mati sebagai seorang Muslim yang bertakwa adalah jaminan terbaik untuk tidak masuk neraka, dan sekaligus, merupakan modal terbaik untuk dapat masuk surga.” Sebagai orang yang pernah tinggal di Las Vegas, aku langsung dapat memahami hubungan antara contoh yang pedas tersebut dengan permainan roulette.
Pada waktu itu, aku baru memahami bahwa kebenaran yang sedang kucari tak akan pernah dapat kutemukan kecuali aku mendalami dan memusatkan diri pada agama-agama yang telah diwahyukan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasulNya. Karena itulah, aku memutuskan untuk melanjutkan pencarian kebenaran itu dengan mempelajari agama Kristen dan Islam.
Continued to Part 2
Menggabungkan Kepingan Awal “Teka-teki Tujuan Hidup”
Dulu, aku berpikir bahwa latar belakangku akan dapat membawa kehidupan yang sempurna, terlebih semenjak aku merasakan kepuasan mental maupun fisik. Sebagai seorang pemuda, kehidupanku tidaklah jauh berbeda dengan rata-rata orang Amerika yang bergaya hidup agak hedonistik. Aku menyukai musik, gadis pesta, olah raga, pelesir, makanan etnis, dan bahasa asing. Namun akhirnya aku mencapai suatu titik, di mana aku merasakan “kehampaan spiritual”. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Sekarang, apa lagi maumu?”. Aku mulai berpikir, “Hidup pasti bukanlah hanya untuk ini saja”. Kesadaran inilah yang akhirnya menjadi pemicu yang membawaku menuju sebuah pencarian kebenaran melalui berbagai macam jalan.
Pada awalnya, aku mengira bahwa penyebab ketidak-puasan spiritual yang kurasakan adalah gaya hidupku di Amerika, yang acapkali terbelenggu oleh kesenangan sesaat dan tingkah laku yang impulsif (menuruti kehendak nafsu). Sebagai hasilnya, aku berspekulasi bahwa jawaban dari semua ini akan kudapatkan dengan menemukan daerah lain yang lebih baik. Karena itulah, aku mulai mencari suatu tempat yang sempurna. Setelah menjelajahi banyak tujuan, aku menyadari bahwa semua daerah itu bukanlah tempat yang benar-benar aku rindukan, tidak lebih dari suatu budaya tertentu belaka dengan masing-masing pendekatannya yang paling sesuai dengan kehidupan di daerah itu. Ketika aku menemukan suatu budaya yang kuanggap paling menarik, saat itulah aku baru menyadari bahwa budaya tersebut masih memiliki cacat dan kelemahan. Semenjak itu, aku menduga bahwa kita harus mempelajari berbagai cara hidup manusia lalu memilih mana yang terbaik dari praktek-praktek itu. Inilah yang mungkin merupakan jalan kebenaran.
Setelah gagal untuk benar-benar menerapkan kehidupan seorang manusia global, aku mengambil pilihan untuk beralih ke buku-buku bacaan tentang metafisika, karena hal-hal yang esoterik (hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja) dalam kehidupan ini selalu membangkitkan minatku. Aku mempelajari bahwa segala hal ternyata berjalan menurut hukum universal yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan seseorang. Setelah melahap banyak buku metafisika, aku menyimpulkan bahwa hal yang lebih penting daripada hukum-hukum itu adalah Sang Pencipta hukum itu sendiri, yaitu Tuhan. Aku juga menyadari bahwa metafisika bisa jadi merupakan suatu jalan yang sulit dan terlalu berbahaya untuk diikuti, sehingga timbullah keputusan untuk tidak mempelajarinya lebih jauh lagi. Atas nasehat seorang teman dekat, aku dan beberapa orang lainnya kemudian mengadakan perjalanan camping selama tiga bulan ke seluruh Amerika dan Kanada Bagian Barat, dengan maksud untuk menemukan tujuan hidup. Saat itulah, kami menyaksikan keajaiban-keajaiban alam dan merasa yakin bahwa dunia ini tidak mungkin tercipta secara kebetulan begitu saja. Dunia ini benar-benar merupakan suatu negeri ajaib yang penuh dengan tanda-tanda yang membuktikan adanya Sang Pencipta. Dan begitulah, perjalanan tersebut semakin memperkuat keyakinanku terhadap Tuhan.
Setibanya di rumah, aku merasa sangat tertekan oleh kehidupan kota besar yang sangat sibuk, sehingga aku mulai beralih ke meditasi demi mencari ketenangan. Melalui teknik-teknik meditasi, aku dapat menemukan kedamaian batin. Sekalipun begitu, ketenangan dan kedamaian itu hanya bersifat sementara. Saat aku kembali berdiri, perasaan damai tersebut hilang lagi. Selain itu, melakukan meditasi secara konsisten ternyata merupakan suatu tugas yang amat berat. Karena itulah, ketertarikanku berangsur-angsur sirna.
Tidak lama kemudian, aku mulai menduga bahwa kebenaran yang sedang kucari mungkin terletak pada pengembangan diri. Karenanya, aku mulai menjadi seorang pembaca yang haus akan bahan-bahan bacaan tentang motivasi, dan mulai menghadiri seminar-seminar yang terkait dengan itu. Di samping itu, aku juga berusaha untuk menerapkan slogan Angkatan Darat Amerika Serikat di iklan-iklan TV, ‘Be all you can be”’ (Kerahkanlah segala kemampuan dirimu), dengan cara mengikuti latihan-latihan seperti berjalan di atas api, terjun payung, dan bela diri. Disebabkan oleh buku-buku yang kubaca dan kegiatan-kegiatan yang menantang itulah, rasa percaya-diriku semakin menguat, namun pada kenyataannya, aku masih belum juga menemukan kebenaran yang kurindukan.
Segera setelah itu, aku melanjutkan pencarian dengan membaca buku-buku tentang filsafat. Aku memang menemukan banyak konsep dan praktek yang menarik; namun tidak ada satupun filsafat yang dapat benar-benar kusetujui secara keseluruhan. Sehingga, aku lebih memilih untuk menggabungkan apa-apa yang kuanggap sebagai kebijakan terbaik di antara semua doktrin-doktrin itu. Hal itu kemudian menjadi semacam ‘agama campuran” yang memberi penekanan terhadap sikap moral yang baik. Akhirnya, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa moral yang baik memang perlu, namun masih belum cukup untuk dapat memecahkan “teka-teki tujuan hidup”, yang membutuhkan suatu pendekatan hidup yang cenderung bersifat spiritual.
Tidak lama kemudian, aku mendapat pekerjaan di sebuah negara Muslim, di mana aku mempunyai cukup banyak waktu luang untuk membaca dan merenungkan hidup. Pencarianku terhadap kebenaran masih terus berlanjut, hingga akhirnya aku menemukan suatu anjuran di sebuah buku tentang pentingnya pertobatan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Anjuran tersebut kulakukan dan aku benar-benar merasakan penyesalan yang mendalam atas berbagai kesalahan yang pernah kuperbuat terhadap orang lain dalam hidupku, begitu mendalam hingga air mata menetes di pipiku.
Beberapa hari kemudian, aku berbincang-bincang dengan beberapa orang teman Muslim. Aku mengatakan kepada mereka bahwa di Amerika dulu, aku biasa mengenyam kebebasan yang lebih luas daripada yang kutemui di negara mereka. Seorang dari mereka mengatakan, “Memang, tapi sebenarnya itu bergantung pada apa yang kamu maksud dengan kata ‘kebebasan’. Di duniamu, sebaik apapun orang-tua mengajarkan moralitas kepada anak-anaknya di rumah, saat berada di luar rumah, mereka umumnya akan menemukan suatu masyarakat yang jauh dengan moralitas yang diajarkan di rumah. Sebaliknya, pada kebanyakan masyarakat Muslim, moral yang diajarkan kepada anak-anak di rumah amat sepadan dengan apa yang mereka temukan di luar rumah. Jadi, siapakah yang benar-benar memiliki kebebasan dalam hal ini?” Dari perbandingan itulah, aku mengambil kesimpulan bahwa aturan dan larangan Islam yang membatasi perilaku manusia bukanlah bertujuan untuk membelenggu kebebasan manusia; melainkan, untuk menegaskan batas-batas kebebasan yang bermartabat bagi umat manusia.
Kesempatan berikutnya untuk mempelajari Islam muncul ketika aku diundang untuk makan malam bersama dengan sekelompok penganut Islam. Setelah memberitahu mereka bahwa aku pernah tinggal di Las Vegas, Nevada sebelum pindah ke Timur Tengah, seorang Muslim yang berasal dari Amerika berkata, “Kamu harus memastikan bahwa kelak kamu meninggal sebagai seorang Muslim yang baik.” Segera aku memintanya agar menjelaskan maksudnya. Dia meneruskan, “Jika kamu meninggal sebagai non-Muslim, kamu seolah-olah sedang bermain roulette dan mempertaruhkan semua kepinganmu (seluruh hidupmu, termasuk amal-amal sekaligus keyakinanmu sendiri terhadap Tuhan) hanya pada satu nomer saja, semata-mata berharap bahwa barangkali dengan rahmat dan ampunan Tuhan, kamu akan memasuki surga di hari pembalasan. Sebagai perbandingan, jika kamu meninggal sebagai seorang Muslim yang bertakwa, seolah-olah kamu menyebarkan semua kepinganmu di seluruh papan roulette, sehingga dengan cara ini seluruh nomer akan dapat tercakup. Di angka berapapun bola roulette jatuh, kamu akan tetap aman. Dengan kata lain, hidup dan mati sebagai seorang Muslim yang bertakwa adalah jaminan terbaik untuk tidak masuk neraka, dan sekaligus, merupakan modal terbaik untuk dapat masuk surga.” Sebagai orang yang pernah tinggal di Las Vegas, aku langsung dapat memahami hubungan antara contoh yang pedas tersebut dengan permainan roulette.
Pada waktu itu, aku baru memahami bahwa kebenaran yang sedang kucari tak akan pernah dapat kutemukan kecuali aku mendalami dan memusatkan diri pada agama-agama yang telah diwahyukan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasulNya. Karena itulah, aku memutuskan untuk melanjutkan pencarian kebenaran itu dengan mempelajari agama Kristen dan Islam.
Continued to Part 2